“Hari ini adalaha hari yang penting bagi Kekaisaran
Britannia! Upacara Inagurasi Kaisar Edward X akan dilakukan pada Westminster
Abbey pukul 09.00 nanti! Terus ikuti laporan berita hanya di Channel 7!”
*Klik*
“Dari narasumber kami, Dai-Nippon menurunkan ratusan
tentara pada daerah Tainaka, yang dahulu bernama Tiangong yang berbatasan
langsung dengan Noble Republic of Indonesia pasca terjadi Insiden kecil dimana
sejumlah warga etnis China berusaha melarikan diri dari NRI. . .”
*Klik*
“THE WORLD ART EXHIBITION NOW IS OPEN AT LONDON
SQUARE!”
*Klik*
Televisi
pun kini menjadi hening, ditiupnya secangkir teh yang masih hangat pada tangan
kanannya sementara tangan kiri meraih Koran yang ada disisinya. Matanya ungunya
bergerak perlahan mencari berita pada Koran sementara bibirnya masih meniupkan
udara untuk menurunkan suhu dari teh Raspberry Earl yang belum tersentuh dari
tadi.
Pada
Koran tersebut, terlihat headline news yang bertuliskan “BREAKNEWS! AFTER THE FALL OF THE PRC AND USA, NEW SUPERPOWER EMERGE!”
Ia
hanya tersenyum kecil.
Disesapnya
perlahan the yang mulai mendingin itu, menikmati setiap tegukan dari teh hitam
yang kini mulai langka. Seteguk demi seteguk hingga akhirnya cangkir itu
kosong, tak meninggalkan setetes teh pun yang tersisa. Ia kembali memandang
televisi yang kini telah mati, tak lama kemudian mata ungunya menatap jam yang
tergantung pada dinding diatas televisi tersebut.
“Sudah menunjukkan pukul 7.30, sebentar lagi ia akan dat.
. .”, gumamnya.
TENGTOONG
TENGTOONG
“GUTEN TAG!”
Terdengar suara bell yang berbunyi dan teriakan yang
sangat familiar ditelinganya.
“Remilia, bisakah engkau menolong dengan membukakan pintu
dan menyambut tamu itu?”, perintahnya kepada seorang gadis dengan rambut pendek
berwarna biru yang merupakan personal maidnya.”Dan tolong bawakan barang yang
ia bawa jika ada menuju kamarnya.”
Remilia hanya mengangguk mengiyakan.
Alfred pun mengelus kepalanya, sebelum maid tersebut
pergi.
Kemudian, ia pun segera meletakkan Koran yang sedang ia
pegang pada salah satu side-table dari sofa yang merupakan singgasananya.
Tak berapa lama, tampak sepasang tangan yang besar
memeluknya.”SURPRISE BEAR HUG!”
“Herman!”,pekiknya.
Herman Dietrich von Wolff, begitulah nama lengkap seorang
sahabat karibnya yang baru saja tiba dari Deutsches Kaiserreich. Seorang Pria
dengan tinggi 192 cm(Alfred hanya setinggi 179 cm), berambut klimis hitam
dengan sedikit jenggot Monseiur dan bermata biru
Herman pun segera menghentikan pelukannya.”Alfred
Huntington! Mein besten freund, ja! Lama tak berjumpa! Dan kulihat kau sekarang
telah memiliki seorang maid untuk mansionmu yang sedikit kusam namun tetap
menawan ini!”
Berbeda dengan stereotype tentang orang etnis Germanic
pada umumnya, Herman terlalu ceria dan carefree, bahkan tidak ada yang
menyangka dibalik sifatnya ia adalah seorang Geheimnis Feuerbereitschaft dan
pebisnis.
Alfred sedikt mendengus kesal, namun ia tahu bahwa itu
memang pujian dari Herman.
“Dimana Boris, Ahmed, Tirto dan Sugihara?”
Herman menggelengkan kepalanya.
“Mereka sedang sibuk dengan urusan Negara mereka
masing-masing. Boris sibuk mengurusi pemberontakan di Florida, Ahmed batal
karena dijodohkan. Sementara Tirto dan Sugihara, dapat kau lihat di televisi.”
Alfred pun segera berdiri dan mengambil kunci
mobilnya.”Ayo, mari kita lanjutkan sembari perjalanan menuju pameran seni!
Semoga saja ada beberapa lukisan indah yang bias kubawa pulang.”
Herman pun mengangguk senang dan mengikuti Alfred
berjalan menuju mobilnya, sebuah Bristol Bullet. Dari mansion milik Alfred
menuju pameran seni memakan waktu selama 1 jam lebih 30 menit.
“Hey, Alfred, apa yang kau lakukan pada saat ini diwaktu
senggang?”, celetuk Herman.
Alfred tampak berpikir sejenak.
“Menikmati secangkir teh, mengawasi perkebunan dan
peternakan, menjadi investor, dan mengkoleksi lukisan, menjadi seorang
curator.”
Herman pun mengangguk-angguk.
“Herman, bisakah aku meminta tolong padamu untuk mencari
daftar nama pelukis yang menghadiri pameran di gorogel?”, pinta Alfred sembari
terus memperhatikan jalan.
Dengan cekatan Herman mulai melakukan searching.
Tak berapa lama, ia berhasil menemukan 10 buah nama
pelukis yang mengikuti pameran seni itu.
Keita Shiori, 22 tahun,
realism.
Sandra, 22 tahun,
realism.
Natalya, 21 tahun,
surrealism.
Johan Gotebsburg, 45
tahun, realism.
Marco Domingo, 49
tahun, naturalism.
Stephanie Mayer, 32
tahun, romantism.
Laika Kuruschev, 27
tahun, ekspresionism.
Jeanne Filia, 25 tahun,
Impressionism.
Jacques Frenhard, 50
tahun, romantism.
Tora Bika, 44 tahun,
naturalism.
Setelah itu, Alfred tampak memikirkan sesuatu, sementara
Herman sibuk merekam dan mengambil foto pemandangan selama perjalanan.
Ditengah jalan, mereka berhenti disebuah kios bensin
untuk mengisi bensin dan membeli camilan. Herman tampak girang ketika mendengar
ada penjual Fish N Chips, sementara Alfred lebih memilih untuk membeli tiga
buah sandwich isi daging asap.
Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan sembari
menikmati makanan yang mereka beli.
Alfred melirik jam pada dashboard, sudah menunjukkan
pukul 09.30. Lebih cepat 15 menit dari yang ia duga. Ia pun segera memarkir
mobilnya pada parking lot terdekat dan membangunkan Herman yang tertidur pasca
menghabiskan dua sandwich dan sebungkus Fish n Chips.
“OPEN NOW! ENJOY THE EXHIBITION & PREPARE FOR
THE AUCTION!”
“FISH AND CHIPS! HOT DOGS! SANDWICH! VERY HALAL!”
“KEBAB! PURE KEBAB AT HERE!”
Sungguh sangat ramai dan penuh sesak! Banyak sekali pengunjung
yang datang baik penikmat seni maupun hanya sekedar berjalan-jalan. Mereka
berdua segera menuju loket masuk dan membeli tiket seharga 20 Poundsterling per
tiket atau seharga 10 Deutschemarken per tiket.
“Hei, Alfred, seni lukisan dengan gaya apa yang kau suka,
ja?”, Tanya Herman pada Alfred. ”Romantism dan Ekspresionism sangan indah
menurutku.”
“Realism is the best!”, jawab Alfred dengan mata yang
berbinar.
Herman tertawa.”Oh, ja, beberapa pelukis realism banyak
yang baru dan banyak einen Mädchen, ja~! Siapa tahu kau bisa bertemu jodohmu
disini! Atau lima tahun lagi kau menjadi penyihir! Ahaha!”
Alfred hanya tersenyum kecil, ia tidak pernah berpikir
jauh untuk segera menikah.
Dikeluarkan handphonenya dan segera mengetik pesan
singkat untuk memberitahu Remilia bahwa ia akan pulang sedikit telambat karena
setelah dari pameran ia berencana untuk pergi membeli beberapa kotak teh dan
kopi, serta bagel dan donat.
FIRST ROOM : SHOWROOM
“The Farmer and His Potatoes, by Johan G. Lumayan indah,
sungguh mendalam menggambarkan usaha dan perjuangan sang petani agar
kentang-kentangnya dapat tumbuh dengan baik sehat, cerdas dan tidak salah
pergaulan.”, gumam Herman.”Work In The Field, by Johan G. Hmm. . . Lukisan
selanjunya. . . Oh, ini menarik.”
Herman tampak sibuk mememandangi sembari berusaha
memahami setiap bingkai lukisan yang ada satu per satu.
Dilain sisi, mata Alfred sibuk memandangi dengan takjub
sebuah lukisan yang sungguh menggugah hatinya, sebuah lukisan dengan judul “A Girl Purest Love”.
Lukisan itu sungguh sangat indah baginya, tanpa ia sadari
seakan dapat memahami perasaan sang pelukis. Bagai kedua jiwa saling
bersentuhan namun tidak saling bertemu, hanya lukisan sebagai pintu yang
menyatukan.
Tampak seorang gadis dengan wajah yang sendu, sedang
menanti sang kekasih yang sedang melakukan perjalanan jauh untuk mengadu nasib
dan saat nanti akan kembali untuk menjadikannya seorang pengantin.
“Alfred?”
Ia masih ttidak bergeming. . .
“Alfred~”
Alfred masih tetap terpaku pada lukisan itu, seakan ia
sedang mengalami de javu.
“GREPE~”, ucap Hermann sembari menggrepe Alfred dari
belakang.”Baru kali ini ada orang yang begitu serius melihat sebuah lukisan.”
Alfred hanya terdiam, ia masih merasakan adanya feeling pada lukisan itu.
Sementara itu, dari kejauhan, ada sepasang mata yang
mengawasi mereka berdua semenjak memasuki area pameran. . .
SECOND ROOM : AUCTION ROOM
Tak terasa, waktu terus berjalan dan berlalu, kini siang
hari telah berubah menjadi petang. Kegelapan dengan perlahan mulai menyelimuti
kota London yang kini berkilauan dari cahaya lampu malam. Jam tangan telah
menunjukkan waktu pukul 18.35 GMT. Lima menit lagi menuju acara auction lukisan.
Dengan sigap, Alfred meraih handphonennya dan mengecheck
jumlah uang yang ada direkeningnya. Senyuman kebahagiaan tampak terlihat pada
wajahnya. Mata ungunya kini berbinar laksana pantulan batu amethystine yang terkena cahaya.
Ia segera menyeret Hermann yang sedang memakan Fish n
Chips untuk mendekati panggung.
Tak berapa lama, tampillah seorang pria botak, tinggi dan
dtambun pada panggung tersebut.
Pria tersebut segera memajang semua lukisan yang ada dan
menawarkan harga pada auksi.
Satu demi satu lukisan tersebut terjual.
Hermann segera memborong sejumlah lukisan milik pelukis
Johan. Total pada hari itu ia menghabiskan sekitar empat ratus tujuh belas juta
poundsterling untuk empat buah lukisan karya Johan G. Tak lupa ia meminta pada
pihak penyelenggara agar keempat lukisan tersebut agar dipaketkann menuju
rumahnya di Danzig. Dan secara tak terduga, ia mendapatkan kesempatan untuk
berbincang, meminum kopi dan berfoto bersama sang pelukis secara langsung.
Kini tibalah saatnya untuk mengauksi lukisan “A Girl Purest Love”
Promotor itu beristirahat sebentar sembari meminum
segelas air sebelum akhirnya berbicara.”Lukisan ini, merupakan masterpiece karya seorang gadis yang baru
saja memasuki dunia seni lukis. Lukisan ini berjudul “A Girl Purest Love”! Lelang akan dibuka dengan harga dua juta Poundsterling~!”
Banyak pengunjung yang terpukau ketika melihat lukisan
tersebut saat ditampilkan diatas panggung.
KRING-KRING
KRING-KRING
Sebuah pesan singkat masuk kedalam handphone sang Promotor.
Suasana hening seketika.
Tampak sang Promotor menelan ludahnya.
Tak berapa lama ia berusaha melancarkan suaranya.
“Maaf para hadirin sekalian, sang Pelukis Lukisan ini
baru saja memberitahu bahwa, barang siapa membeli lukisan ini, dengan harga
tinggi, akan mendapatkan waktu untuk berbincang dengannya.”
Alfred menatap dengan bingung.
“Baik, dibuka dengan awalan dua juta poundsterling.”
Suasana hening.
Tiba-tiba, seorang berteriak. “Lima juta poundsterling!”
“Enam juta!”
“Sepuluh Juta!”
Rasa penasaran akan siapa sang pelukis membuat
orang-orang berlomba untuk mendapatkannya.
“Dua belas juta!”
Alfred membenarkan posisi kerahnya.
Ia menghela nafas panjang.
“EMPAT PULUH LIMA JUTA!”, teriaknya lantang.
Ruangan
langsung hening kembali.
“Ada
penawaran lain lagi?”, Tanya sang Promotor.”Tidak ada? Baiklah, lukisan terjual
pada bapak bermata ungu itu!”
Tanpa
disadari, Alfred melonjak-lonjak kesenangan.
Sang
Promotor pun segera memberikannya secarik kertas.
Kertas
tersebut berisikan waktu, tanggal, dan lokasi pertemuan.
Setelah
itu, Alfred dan Hermann segera menuju restaurant terdekat untuk makan malam
bersama.
“Jadi,
apakah kau akan mengunjungi lokasi itu?”,Tanya Herman.”Lumayan, siapa tahu
kalian berjodoh.”
Alfred
hanya tersenyum, sembari menikmati black tea favoritenya dan steak daging domba
yang ia pesan.
“Hey,
Alfred, apakah kau merasa seakan kita diikuti dan diawasi dari tadi?”,ucap
Hermann tiba-tiba.
Ia
menggeleng.
“Mungkin
hanya perasaanku saja.”
Mereka
melanjutkan makan malam dalam diam.
Usai
makan, Hermann yang mendapat giliran untuk mengemudi pulang.
Perlahan,
Alfred merasakan rasa kantuk menyerang.
Tak
terasa ia kini tertidur.
Sesampainya
diruamh, Hermann segera meminta Remilia untuk menggendong tuannya yang
tertidur, sementara ia memarkirkan mobil milik Alfred kedalam garasi.
ZING!
Instingnya
seakan memberitahukan jika mereka diawasi oleh seseorang dari kejauhan.
Namun,
ia tidak ambil pusing.
Karena,
iam percaya tidak ada seorang pun yang sanggup menyakiti Alfred.
FIN