Powered By Blogger

Minggu, 21 Agustus 2016

The Girl and The Painting

“Hari ini adalaha hari yang penting bagi Kekaisaran Britannia! Upacara Inagurasi Kaisar Edward X akan dilakukan pada Westminster Abbey pukul 09.00 nanti! Terus ikuti laporan berita hanya di Channel 7!”
*Klik*
“Dari narasumber kami, Dai-Nippon menurunkan ratusan tentara pada daerah Tainaka, yang dahulu bernama Tiangong yang berbatasan langsung dengan Noble Republic of Indonesia pasca terjadi Insiden kecil dimana sejumlah warga etnis China berusaha melarikan diri dari NRI. . .”
*Klik*
“THE WORLD ART EXHIBITION NOW IS OPEN AT LONDON SQUARE!”
*Klik*
Televisi pun kini menjadi hening, ditiupnya secangkir teh yang masih hangat pada tangan kanannya sementara tangan kiri meraih Koran yang ada disisinya. Matanya ungunya bergerak perlahan mencari berita pada Koran sementara bibirnya masih meniupkan udara untuk menurunkan suhu dari teh Raspberry Earl yang belum tersentuh dari tadi.
Pada Koran tersebut, terlihat headline news yang bertuliskan “BREAKNEWS! AFTER THE FALL OF THE PRC AND USA, NEW SUPERPOWER EMERGE!”
Ia hanya tersenyum kecil.
Disesapnya perlahan the yang mulai mendingin itu, menikmati setiap tegukan dari teh hitam yang kini mulai langka. Seteguk demi seteguk hingga akhirnya cangkir itu kosong, tak meninggalkan setetes teh pun yang tersisa. Ia kembali memandang televisi yang kini telah mati, tak lama kemudian mata ungunya menatap jam yang tergantung pada dinding diatas televisi tersebut.
            “Sudah menunjukkan pukul 7.30, sebentar lagi ia akan dat. . .”, gumamnya.
TENGTOONG
TENGTOONG
“GUTEN TAG!”
            Terdengar suara bell yang berbunyi dan teriakan yang sangat familiar ditelinganya.
            “Remilia, bisakah engkau menolong dengan membukakan pintu dan menyambut tamu itu?”, perintahnya kepada seorang gadis dengan rambut pendek berwarna biru yang merupakan personal maidnya.”Dan tolong bawakan barang yang ia bawa jika ada menuju kamarnya.”
            Remilia hanya mengangguk mengiyakan.
            Alfred pun mengelus kepalanya, sebelum maid tersebut pergi.
            Kemudian, ia pun segera meletakkan Koran yang sedang ia pegang pada salah satu side-table dari sofa yang merupakan singgasananya.
            Tak berapa lama, tampak sepasang tangan yang besar memeluknya.”SURPRISE BEAR HUG!”
            “Herman!”,pekiknya.
            Herman Dietrich von Wolff, begitulah nama lengkap seorang sahabat karibnya yang baru saja tiba dari Deutsches Kaiserreich. Seorang Pria dengan tinggi 192 cm(Alfred hanya setinggi 179 cm), berambut klimis hitam dengan sedikit jenggot Monseiur dan bermata biru
            Herman pun segera menghentikan pelukannya.”Alfred Huntington! Mein besten freund, ja! Lama tak berjumpa! Dan kulihat kau sekarang telah memiliki seorang maid untuk mansionmu yang sedikit kusam namun tetap menawan ini!”
            Berbeda dengan stereotype tentang orang etnis Germanic pada umumnya, Herman terlalu ceria dan carefree, bahkan tidak ada yang menyangka dibalik sifatnya ia adalah seorang Geheimnis Feuerbereitschaft dan pebisnis.
            Alfred sedikt mendengus kesal, namun ia tahu bahwa itu memang pujian dari Herman.
            “Dimana Boris, Ahmed, Tirto dan Sugihara?”
            Herman menggelengkan kepalanya.
            “Mereka sedang sibuk dengan urusan Negara mereka masing-masing. Boris sibuk mengurusi pemberontakan di Florida, Ahmed batal karena dijodohkan. Sementara Tirto dan Sugihara, dapat kau lihat di televisi.”
            Alfred pun segera berdiri dan mengambil kunci mobilnya.”Ayo, mari kita lanjutkan sembari perjalanan menuju pameran seni! Semoga saja ada beberapa lukisan indah yang bias kubawa pulang.”
            Herman pun mengangguk senang dan mengikuti Alfred berjalan menuju mobilnya, sebuah Bristol Bullet. Dari mansion milik Alfred menuju pameran seni memakan waktu selama 1 jam lebih 30 menit.
            “Hey, Alfred, apa yang kau lakukan pada saat ini diwaktu senggang?”, celetuk Herman.
            Alfred tampak berpikir sejenak.
            “Menikmati secangkir teh, mengawasi perkebunan dan peternakan, menjadi investor, dan mengkoleksi lukisan, menjadi seorang curator.”
            Herman pun mengangguk-angguk.
            “Herman, bisakah aku meminta tolong padamu untuk mencari daftar nama pelukis yang menghadiri pameran di gorogel?”, pinta Alfred sembari terus memperhatikan jalan.
            Dengan cekatan Herman mulai melakukan searching.
            Tak berapa lama, ia berhasil menemukan 10 buah nama pelukis yang mengikuti pameran seni itu.
Keita Shiori, 22 tahun, realism.
Sandra, 22 tahun, realism.
Natalya, 21 tahun, surrealism.
Johan Gotebsburg, 45 tahun, realism.
Marco Domingo, 49 tahun, naturalism.
Stephanie Mayer, 32 tahun, romantism.
Laika Kuruschev, 27 tahun, ekspresionism.
Jeanne Filia, 25 tahun, Impressionism.
Jacques Frenhard, 50 tahun, romantism.
Tora Bika, 44 tahun, naturalism.
            Setelah itu, Alfred tampak memikirkan sesuatu, sementara Herman sibuk merekam dan mengambil foto pemandangan selama perjalanan.
            Ditengah jalan, mereka berhenti disebuah kios bensin untuk mengisi bensin dan membeli camilan. Herman tampak girang ketika mendengar ada penjual Fish N Chips, sementara Alfred lebih memilih untuk membeli tiga buah sandwich isi daging asap.
            Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan sembari menikmati makanan yang mereka beli.
            Alfred melirik jam pada dashboard, sudah menunjukkan pukul 09.30. Lebih cepat 15 menit dari yang ia duga. Ia pun segera memarkir mobilnya pada parking lot terdekat dan membangunkan Herman yang tertidur pasca menghabiskan dua sandwich dan sebungkus Fish n Chips.
“OPEN NOW! ENJOY THE EXHIBITION & PREPARE FOR THE AUCTION!”
“FISH AND CHIPS! HOT DOGS! SANDWICH! VERY HALAL!”
“KEBAB! PURE KEBAB AT HERE!”
            Sungguh sangat ramai dan penuh sesak! Banyak sekali pengunjung yang datang baik penikmat seni maupun hanya sekedar berjalan-jalan. Mereka berdua segera menuju loket masuk dan membeli tiket seharga 20 Poundsterling per tiket atau seharga 10 Deutschemarken per tiket.
            “Hei, Alfred, seni lukisan dengan gaya apa yang kau suka, ja?”, Tanya Herman pada Alfred. ”Romantism dan Ekspresionism sangan indah menurutku.”
            “Realism is the best!”, jawab Alfred dengan mata yang berbinar.
            Herman tertawa.”Oh, ja, beberapa pelukis realism banyak yang baru dan banyak einen Mädchen, ja~! Siapa tahu kau bisa bertemu jodohmu disini! Atau lima tahun lagi kau menjadi penyihir! Ahaha!”
            Alfred hanya tersenyum kecil, ia tidak pernah berpikir jauh untuk segera menikah.
            Dikeluarkan handphonenya dan segera mengetik pesan singkat untuk memberitahu Remilia bahwa ia akan pulang sedikit telambat karena setelah dari pameran ia berencana untuk pergi membeli beberapa kotak teh dan kopi, serta bagel dan donat.
FIRST ROOM : SHOWROOM
            “The Farmer and His Potatoes, by Johan G. Lumayan indah, sungguh mendalam menggambarkan usaha dan perjuangan sang petani agar kentang-kentangnya dapat tumbuh dengan baik sehat, cerdas dan tidak salah pergaulan.”, gumam Herman.”Work In The Field, by Johan G. Hmm. . . Lukisan selanjunya. . . Oh, ini menarik.”
            Herman tampak sibuk mememandangi sembari berusaha memahami setiap bingkai lukisan yang ada satu per satu.
            Dilain sisi, mata Alfred sibuk memandangi dengan takjub sebuah lukisan yang sungguh menggugah hatinya, sebuah lukisan dengan judul “A Girl Purest Love”.
            Lukisan itu sungguh sangat indah baginya, tanpa ia sadari seakan dapat memahami perasaan sang pelukis. Bagai kedua jiwa saling bersentuhan namun tidak saling bertemu, hanya lukisan sebagai pintu yang menyatukan.
            Tampak seorang gadis dengan wajah yang sendu, sedang menanti sang kekasih yang sedang melakukan perjalanan jauh untuk mengadu nasib dan saat nanti akan kembali untuk menjadikannya seorang pengantin.
            “Alfred?”
            Ia masih ttidak bergeming. . .
            “Alfred~”
            Alfred masih tetap terpaku pada lukisan itu, seakan ia sedang mengalami de javu.
            “GREPE~”, ucap Hermann sembari menggrepe Alfred dari belakang.”Baru kali ini ada orang yang begitu serius melihat sebuah lukisan.”
            Alfred hanya terdiam, ia masih merasakan adanya feeling pada lukisan itu.
            Sementara itu, dari kejauhan, ada sepasang mata yang mengawasi mereka berdua semenjak memasuki area pameran. . .
SECOND ROOM : AUCTION ROOM
            Tak terasa, waktu terus berjalan dan berlalu, kini siang hari telah berubah menjadi petang. Kegelapan dengan perlahan mulai menyelimuti kota London yang kini berkilauan dari cahaya lampu malam. Jam tangan telah menunjukkan waktu pukul 18.35 GMT. Lima menit lagi menuju acara auction lukisan.
            Dengan sigap, Alfred meraih handphonennya dan mengecheck jumlah uang yang ada direkeningnya. Senyuman kebahagiaan tampak terlihat pada wajahnya. Mata ungunya kini berbinar laksana pantulan batu amethystine yang terkena cahaya.
            Ia segera menyeret Hermann yang sedang memakan Fish n Chips untuk mendekati panggung.
            Tak berapa lama, tampillah seorang pria botak, tinggi dan dtambun pada panggung tersebut.
            Pria tersebut segera memajang semua lukisan yang ada dan menawarkan harga pada auksi.
            Satu demi satu lukisan tersebut terjual.
            Hermann segera memborong sejumlah lukisan milik pelukis Johan. Total pada hari itu ia menghabiskan sekitar empat ratus tujuh belas juta poundsterling untuk empat buah lukisan karya Johan G. Tak lupa ia meminta pada pihak penyelenggara agar keempat lukisan tersebut agar dipaketkann menuju rumahnya di Danzig. Dan secara tak terduga, ia mendapatkan kesempatan untuk berbincang, meminum kopi dan berfoto bersama sang pelukis secara langsung.
            Kini tibalah saatnya untuk mengauksi lukisan “A Girl Purest Love”
            Promotor itu beristirahat sebentar sembari meminum segelas air sebelum akhirnya berbicara.”Lukisan ini, merupakan masterpiece karya seorang gadis yang baru saja memasuki dunia seni lukis. Lukisan ini berjudul “A Girl Purest Love”! Lelang akan dibuka dengan harga dua juta Poundsterling~!”
            Banyak pengunjung yang terpukau ketika melihat lukisan tersebut saat ditampilkan diatas panggung.
            KRING-KRING
            KRING-KRING
            Sebuah pesan singkat masuk kedalam handphone sang Promotor.
            Suasana hening seketika.
            Tampak sang Promotor menelan ludahnya.
            Tak berapa lama ia berusaha melancarkan suaranya.
            “Maaf para hadirin sekalian, sang Pelukis Lukisan ini baru saja memberitahu bahwa, barang siapa membeli lukisan ini, dengan harga tinggi, akan mendapatkan waktu untuk berbincang dengannya.”
            Alfred menatap dengan bingung.
            “Baik, dibuka dengan awalan dua juta poundsterling.”
            Suasana hening.
            Tiba-tiba, seorang berteriak. “Lima juta poundsterling!”
            “Enam juta!”
            “Sepuluh Juta!”
            Rasa penasaran akan siapa sang pelukis membuat orang-orang berlomba untuk mendapatkannya.
            “Dua belas juta!”
            Alfred membenarkan posisi kerahnya.
            Ia menghela nafas panjang.
            “EMPAT PULUH LIMA JUTA!”, teriaknya lantang.
Ruangan langsung hening kembali.
“Ada penawaran lain lagi?”, Tanya sang Promotor.”Tidak ada? Baiklah, lukisan terjual pada bapak bermata ungu itu!”
Tanpa disadari, Alfred melonjak-lonjak kesenangan.
Sang Promotor pun segera memberikannya secarik kertas.
Kertas tersebut berisikan waktu, tanggal, dan lokasi pertemuan.
Setelah itu, Alfred dan Hermann segera menuju restaurant terdekat untuk makan malam bersama.
“Jadi, apakah kau akan mengunjungi lokasi itu?”,Tanya Herman.”Lumayan, siapa tahu kalian berjodoh.”
Alfred hanya tersenyum, sembari menikmati black tea favoritenya dan steak daging domba yang ia pesan.
“Hey, Alfred, apakah kau merasa seakan kita diikuti dan diawasi dari tadi?”,ucap Hermann tiba-tiba.
Ia menggeleng.
“Mungkin hanya perasaanku saja.”
Mereka melanjutkan makan malam dalam diam.
Usai makan, Hermann yang mendapat giliran untuk mengemudi pulang.
Perlahan, Alfred merasakan rasa kantuk menyerang.
Tak terasa ia kini tertidur.
Sesampainya diruamh, Hermann segera meminta Remilia untuk menggendong tuannya yang tertidur, sementara ia memarkirkan mobil milik Alfred kedalam garasi.
ZING!
Instingnya seakan memberitahukan jika mereka diawasi oleh seseorang dari kejauhan.
Namun, ia tidak ambil pusing.
Karena, iam percaya tidak ada seorang pun yang sanggup menyakiti Alfred.


FIN